Senin, 16 Agustus 2010

Petugas SP 2010 Tetap Datangi Rumah Suku Asli

PENYENGAT-Pelaksanaan sensus penduduk (SP) 2010, membuat petugas harus berjuang keras menjalankan tugasnya. Seberat apapun rintangan yang harus dihadapi, mereka upayakan menempuhnya. Seperti yang mesti dilakukan petugas sensus di Kecamatan Sungai Apit, yang
beberapa wilayahnya hanya dapat ditempuh dengan transportasi air.
"Ada beberapa desa yang sulit ditempuh karena keterbatasan transportasi. Namun karena tanggung jawab tugas, kami harus menjalaninya, meski yang terjauh dan terpencil sekalipun," ujar Koorlap SP 2010 Sungai Apit Suprianto, Senin (17/5).
Dalam pencacahan, Kepala Badan Pusat Statistik Siak Iwan Trisna juga turut menyusuri dusun-dusun di desa itu. Selain Dusun Tanjung Pal, Penyengat juga harus ditempuh dengan perahu motor (pompong) untuk menempuh Dusun Mungkal. Meski jumlah rumah yang harus didatangi tidak seberapa banyak, karena warga suku asli bernama Suku Rawa atau Suku Akit, hidup berkelompok-kelompok dengan komunitas terbatas.
Bahkan ditemukan dalam satu kelompok warga yang hidup di Semenanjung Kampar
tersebut, hanya ada 10 dan empat rumah. Padahal jarak dari setiap kelompok harus ditempuh dengan pompong sekitar satu jam perjalanan.
Wartawan yang mendampingi, turut merasakan beratnya perjuangan petugas SP untuk dapat bersua langsung dengan warga suku asli tersebut.
Di Dusun Sekicak, tak jauh dari Pelabuhan Putong RAPP di Semenanjung Pal, ditemukan empat rumah warga Suku Akit dan dihuni oleh belasan orang saja. Petugas menghabiskan waktu satu jam 20 menit untuk mencapainya menggunakan pompong dari Pelabuhan Desa Penyengat.
Desa Penyengat sendiri dapat ditempuh dari jalur laut dan darat, meski harus melintasi jalan kecil yang becek. Pasalnya jalan multiyears Mengkapan-Sungai Rawa, belum mencapai desa tersebut. Masih ada sekitar 2 km lebih jalan yang baru selesai penggalian dan pembentukan badan jalannnya. Jika menggunakan jalur laut, butuh hampir satu jam untuk menempuhnya dari Pelabuhan Tanjung Buton, Mengkapan.
"Kami sangat berharap, Pemkab Siak segera membangun jalan menuju desa ini. Karena transportasi laut sudah sangat berat bagi warga desa yang mayoritas berekonomi lemah," ujar Nafit, petugas SP 2010 yang juga warga suku asli, yang telah menjadi mualaf dengan nama Islam Hanafi.
Sedangkan dari Dusun Sekicak ke dusun lainnya bernama Mata Rimba, sasarannya hanya 10 rumah tangga (40 jiwa) dan harus ditempuh setengah jam dengan perahu motor. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Dusun Mungkal, untuk mendata 23 rumah tangga. Dusun ini ditempuh selama dua jam perjalanan dari Dusun Mata Rimba. Untuk menuntaskan pekerjaan mereka, Petugas SP 2010 di Desa Penyengat, Sungai Apit butuh waktu perjalanan laut, sekitar 4 jam.
"Kami sadari, perjuangan kami untuk mencapai rumah warga suku asli ini berat. Hanya saja, sambutan dan sikap kekeluargaan yang ditunjukkan mereka, membuat beban kami terasa sedikit lebih ringan," ujar Suprianto.
"Apalagi, bahasa suku asli yang logatnya sedikit berbeda, perlu penerjemah tersendiri. Ketika kami datang dari satu rumah ke rumah lain, beberapa warga turut ikut sehingga ketika kami wawancara, beberapa mereka membantu kami," terus Supri.
Untuk Desa Penyengat, ada empat petugas SP terlatih, yaitu Ebon (Kortim), Yosep, Bejo Harianto dan Nafit (Hanafi).
Kepala BPS Siak Iwan Trisna, mengakui, resiko tugas mengharuskan mereka siap menyusuri seberat apapun medan. Bukan hanya berat karena waktu dan penderitaan dalam perjalanan, mereka juga perlu biaya lebih besar, karena harus mencarter perahu motor.
"Saya memang ikut untuk mendata langsung warga. Harus saya akui, berat tugas ini, karena semua penduduk Indonesia memang harus dihitung, termasuk suku pedalaman seperti ini. Masih ada daerah terpencil lain, yang harus ditempuh petugas SP di daerah ini," tutur Iwan.
Menurut Kades Penyengat Abet, sesuai data desa, terdapat 302 rumah tangga di desa dengan luas wilayah 56 ribu km2 tersebut. Sesuai data desa, terdapat 1.235 jiwa, yang 99 persen butuh diperhatikan ekonominya.
"Banyak hal yang membuat desa kami lambat maju. Selain budaya masyarakat yang
dulunya terbiasa dengan gaya hidup mudah karena hasil kayu hutan yang mudah dijual dan mudah mendapatkan uang, saat ini mereka harus berjuang keras mencukupi kebutuhan. Sedangkan mayoritas warga tidak memiliki pendidikan," terang Kades.
Kendala yang paling dirasakan adalah aksesibitas menuju desa yang masih sangat sulit, sehingga untuk berkebun, baik sawit maupun sagu, mereka belum tertarik.
"Saat ini kita tengah berusaha mengubah gaya hidup dan budaya yang selama ini
tertanam. Memang sangat sulit dan butuh waktu. Namun yang kita harapkan ada perhatian pemerintah, untuk membuka akses ke desa kami ini," ujar Abet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar